Catur Warna atau Kasta di Bali
Kasta dibali dimulai ketika Bali
dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan
politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta
dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena
memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”. Pada
masyarakat Hindu di Bali, terjadi polemik dalam pemahaman dan
pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan.
Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah
Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita
mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian
masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu yang
muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang
diatur menurut garis keturunan (Putra, 2013).
Menurut putra Catur Warna atau Kasta terdiri
dari beberapa bagian antaralain sebagai berikut.
1.
Brahmana adalah orang-orang yang menekuni kehidupan
spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan serta intelektual yang bertugas
untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual. Bisa juga disebut
sebagai seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan.
2.
Ksatria adalah orang orang yang bekerja
atau bergelut di bidang pertahanan dan keamanan atau pemerintahan yang bertugas
untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya. Bisa juga disebut
sebagai seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih,
dan staf-stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala
pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya.
3.
Waisya adalah orang-orang yang bergerak dibidang
ekonomi, yang bertugas untuk mengatur perekonomian atau seseorang yang memilih
fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha,
pedagang, investor dan usahawan (Profesionalis) yang dimiliki bisnis atau usaha
sendiri sehingga mampu mandiri dan mungkin memerlukan karyawan untuk membantunya
dalam mengembangkan usaha atau bisnisnya.
4.
Sudra adalah orang-orang yang bekerja mengandalkan
tenaga atau jasmani, yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan
menjadi pelayan atau pembantu orang lain atau seseorang yang memilih fungsi
sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga. seperti: karyawan,
para pegawai swasta dan semua orang yang bekerja kepada Waisya untuk menyambung
hidupnya termasuk semua orang yang belum termasuk ke Tri Warna diatas.
Perbedaan dengan di India
Istilah Kasta (caste),
diperkenalkan oleh Kolonial Inggris yang menguasai India sampai 1947. Inggris
yang ingin menguasai India, secara efisien membuat daftar masyarakat India.
Mereka menggunakan dua istilah untuk menggambarkan komunitas India, yaitu Caste
dan Tribes. Istilah Kasta digunakan untuk Jat dan Varna. Tribes adalah
komunitas yang hidup di kedalaman hutan, rimba dan pegunungan yang jauh dari
keramaian dan juga bagi komunitas yang sulit untuk diberi kasta contohnya
komunitas yang mencari nafkah dari mencuri atau merampok. Daftar-daftar inilah
yang dipakai juga oleh Pemerintah India untuk menciptakan daftar komunitas yang
diberlakukan diskriminasi positif. Di India kasta itu jumlahnya banyak sekali.
Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama menyebut dirinya dengan
kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta tersendiri.
Sedangkan Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan
kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat
dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang
Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna.
Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh
mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.
Secara Hindu, yaitu dalam ajaran Catur Warna manusia
dilahirkan sama yaitu sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan
minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan,
atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya
melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa
Sudra atau Kesatria atau Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya
bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu (Sanjaya, 2010).
DAFTAR
PUSTAKA
Putra, Komang. 2013. Pro dan Kontra antara Catur
Wangsa dan Kasta. Tersedia pada: http://www.komangputra.com/pro-dan-kontra-antara-catur-wangsa-kasta-catur-warna.html. Diakses tanggal: 2 November 2014.
Sanjaya, Adi. 2012. Catur Warna dan Catur Kasta. Tersedia
pada: http://adisanjaya24.blogspot.com/2010/06/catur-warna-dan-catur-kasta.html.
Diakses tanggal: 2 November 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar