Jumat, 30 Desember 2016

Catur Warna atau Kasta di Bali

Catur Warna atau Kasta di Bali

Kasta dibali dimulai ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”. Pada masyarakat Hindu di  Bali, terjadi  polemik dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan.
Dalam agama Hindu  tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan (Putra, 2013).

Menurut putra Catur Warna atau Kasta terdiri dari beberapa bagian antaralain sebagai berikut.
1.      Brahmana adalah orang-orang yang menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan serta intelektual yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual. Bisa juga disebut sebagai seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan.
2.      Ksatria adalah orang orang yang bekerja atau bergelut di bidang pertahanan dan keamanan atau pemerintahan yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya. Bisa juga disebut sebagai seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan staf-stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya.
3.      Waisya adalah orang-orang yang bergerak dibidang ekonomi, yang bertugas untuk mengatur perekonomian atau seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang, investor dan usahawan (Profesionalis) yang dimiliki bisnis atau usaha sendiri sehingga mampu mandiri dan mungkin memerlukan karyawan untuk membantunya dalam mengembangkan usaha atau bisnisnya.
4.      Sudra adalah orang-orang yang bekerja mengandalkan tenaga atau jasmani, yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga. seperti: karyawan, para pegawai swasta dan semua orang yang bekerja kepada Waisya untuk menyambung hidupnya termasuk semua orang yang belum termasuk ke Tri Warna diatas.


Perbedaan dengan di India

Istilah Kasta (caste), diperkenalkan oleh Kolonial Inggris yang menguasai India sampai 1947. Inggris yang ingin menguasai India, secara efisien membuat daftar masyarakat India. Mereka menggunakan dua istilah untuk menggambarkan komunitas India, yaitu Caste dan Tribes. Istilah Kasta digunakan untuk Jat dan Varna. Tribes adalah komunitas yang hidup di kedalaman hutan, rimba dan pegunungan yang jauh dari keramaian dan juga bagi komunitas yang sulit untuk diberi kasta contohnya komunitas yang mencari nafkah dari mencuri atau merampok. Daftar-daftar inilah yang dipakai juga oleh Pemerintah India untuk menciptakan daftar komunitas yang diberlakukan diskriminasi positif. Di India kasta itu jumlahnya banyak sekali. Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama menyebut dirinya dengan kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta tersendiri.

Sedangkan Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.

Secara Hindu, yaitu dalam ajaran Catur Warna manusia dilahirkan sama yaitu sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atau Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu (Sanjaya, 2010).




DAFTAR PUSTAKA

Putra, Komang. 2013. Pro dan Kontra antara Catur Wangsa dan Kasta. Tersedia pada: http://www.komangputra.com/pro-dan-kontra-antara-catur-wangsa-kasta-catur-warna.html. Diakses tanggal: 2 November 2014.


Sanjaya, Adi. 2012. Catur Warna dan Catur Kasta. Tersedia pada: http://adisanjaya24.blogspot.com/2010/06/catur-warna-dan-catur-kasta.html. Diakses tanggal: 2 November 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar