Rabu, 18 Januari 2017

Peranan Zona Agroekologi dan Kemiringan Lereng (>8-16%)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan  fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak akan berbeda dengan nyata (Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1999). Komponen utama agroekologi adalah iklim, fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah.
Faktor utama iklim yang berkaitan erat dengan keragaman tanaman yaitu suhu dan kelengasan. Kelengasan, meski banyak dipengaruhi oleh sebaran curah hujan namun lebih ditekankan pada keadaan tanah. Daerah yang banyak mendapat air dari lingkungan sekitaranya akan selalu basah walaupun curah hujannya sangat sedikit. Kelengasan tanah dibagi menjadi empat, yaitu basah, lembab, agak kering dan kering berdasar seberapa lama tanah mengalami kekeringan hingga kedalaman tertentu dalam setahun.Selain itu, usaha pertanian juga sangat ditentukan oleh bentuk wilayah (bentuk lereng) dan jenis tanah. Sifat tanah yang sangat menentukan dalam usaha pertanian adalah selang kemasaman, selang tekstur dan drainase.
Sistem pertanian berkelanjutan hanya akan terwujud apabila lahan digunakan untuk sistem pertanian yang tepat. Dengan mempertimbangkan keadaan agroekologi, bagaimana pilihan tanaman yang tepat serta bagaimana sistem produksi yang baik, dapat ditentukan. Penggunaan lahan yang tepat bukan hanya menjamin lahan dan alam memberi manfaat untuk masa kini, tapi juga menjamin bahwa sumber daya alam dapat terus bermanfaat bagi generasi selanjutnya di masa mendatang.
Lahan sebagai sumber daya alam dalam pengelolaannya perlu tindakan yang bijaksana agar memberikan hasil yang baik bagi manusia dan terjaga kelestariannya. Dalam pemanfaatan lahan pertanian terkadang banyak timbul masalah terkait dengan keseimbangan alam dan kesesuaian lahan, oleh karena itu diperlukan teknologi yang tepat guna untuk mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan.
Peta ZAE merupakan salah satu perangkat yang dapat mengarahkan perencanaan pertanian yang bersifat operasional, karena peta ZAE mengandung informasi yang menyeluruh mengenai potensi biofisik wilayah. Oleh karenanya peta ZAE dapat memberikan arahan bagi pilihan komoditas, alternatif penggunaan lahan dan bentuk rakitan teknologi, yang dapat disusun berdasarkan kombinasi pendekatan fisik dan pendekatan ekonomi setempat (Busyra dan Salwati, 2008).
Peranan zona agroekologi dan kemiringan lahan sangat berpengaruh dalam menentukan komoditas tanaman. Salah satu contoh adalah pada kemiringan lereng (>8-16%). Oleh karena itu perlu diketahui peranan zona agroekologi dan kemiringan lereng (>8-16%) untuk menentukan komoditas tanama yang tepat dan menguntungkan dalam pertanian ramah lingkungan. 

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah peranan zona agroekologi dan kemiringan lereng (>8-16%) untuk menetukan komoditas tanaman yang tepat dan menguntungkan dalam pertanian ramah lingkungan?
2.      Apakah yang dimaksud dengan wanatani?

1.3  Tujuan
Berdasarkan permasalahan di atas adapun tujuannya adalah sebagai berikut.
1.      Untuk mengetahui dan memahami peranan zona agroekologi dan kemiringan lereng (>8-16%) untuk menetukan komoditas tanaman yang tepat dan menguntungkan dalam pertanian ramah lingkungan.
2.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan wanatani.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Peranan Zona Agroekologi dan Kemiringan Lereng (>8-16%)
Zona agroekologi merupakan suatu himpunan dari sejumlah faktor alam (iklim, topografi dan tanah) dan kegiatan pertanian (usahatani dan kelompok masyarakat tani) yang me­manfaatkan lingkungannya. Pengelompokan wilayah ini mempunyai kondisi biofisik dan tanaman serta hewan yang relatif lebih seragam. Setiap wilayah dapat digolongkan dalam zone egro­ekologi tertentu berdasarkan kemiripan faktor-fakor alam dan kegiatan pertanian yang dilaku­kan pada wilayah tersebut. Sehingga petani yang ada  dalam suatu zone agroekologi tertentu memiliki kesamaan baik dalam permasalahan dan kebutuhan akan teknologi, dimana perma­salahan dan kebutuhan akan teknologi tersebut berbeda dengan petani yang tinggal pada zone agroekologi lainnya (Rhoades, 1987).
Pada prinsipnya pengelompokan agroekologi mengacu pada kondisi biofisik lahan (ka­rak­teristik lahan dan iklim) yang mempunyai kesamaan dan secara sistematis pengelompokan tersebut dilakukan berdasarkan perbedaan beberapa parameter biofisik yang berkaitan dengan lingkungan yaitu relief (lereng), iklim (suhu dan kelembaban udara) serta kelas drainase tanah (Sudaryanto et al., 2002).
Menurut Amien et al. (1994) pemilahan wilayah ke dalam zona-zona agroekologi akan banyak membantu ke daerah mana suatu paket teknologi yang telah dirakit untuk kondisi fisik lingkungan tertentu dapat dialihkan, sehingga waktu, biaya dan tenaga dalam pelaksanaan pene­li­tian dapat digunakan dengan lebih berdaya guna dan berhasil guna. Alternatif penggunaan lahan untuk masing-masing zona diberikan dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan dalam menunjang tujuan untuk mencapai sistem pertanian yang berkelanjutan. Sistem pertaniannya dapat berupa  kehutanan, perkebunan tanaman tahunan, wana tani dan tanaman semusim. Kehutanan meliputi hutan lindung, hutan produksi maupun hutan penyangga di pantai dengan tanaman bakau dan nipah, aliran sungai dan sekeliling mata air. Sistem pertanian lahan semusim dapat berupa pertanian lahan basah pada tanah-tanah dengan drainase buruk dimana air selalu berlebihan dan pertanian lahan kering. Apabila secara ekonomis lebih menguntungkan lahan yang relatif datar dapat juga diusahakan untuk tanaman keras seperti tanaman hortikultura (Amien,  1994).
Parameter utama dalam zona agroekologi adalah  lereng dan dikelompokkan menjadi 4 (empat zona utama yaitu : zoana I ( lereng > 40 %), zona II (lereng 16 – 40 %), zona III (lereng 8 – 15 %) dan zona IV (lereng < 8 %). Pada daerah dengan lereng < 3 % dengan jenis tanah gambut atau jenis tanah dengan kandungan garam atau sulfat yang tinggi atau jenis tanah yang berkembang dari pasir kwarsa dikelompokkan ke dalam zona tersendiri yaitu masing-masing zona V, VI,  VII dan VIII (Sudaryanto, et al 2002).
Berdasarkan kriteria zona utama tersebut suatu wilayah dapat dibagi menjadi 8 zona agroekologi dengan spesifikasi sistem pertanian atau kehutanan sebagai berikut :
1.  Zona I adalah suatu wilayah dengan lereng > 40 % dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk kehutanan.
2.  Zona II adalah suatu wilayah  dengan lereng 16 – 40 % dengan dengan tipe pemanfaatan lahan adalah perkebunan (budidaya tanaman tahunan).
3. Zona III adalah sutau wilayah dengan lereng 8 – 15 % dengan tipe pemanfaatan lahan adalah wana tani (agro- forestry).
4.  Zona IV adalah suatu wilayah dengan lereng 0 – 8 % dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk tanaman pangan yaitu pada tanah yang berdrainase tanah buruk untuk pengembangan padi sawah dan pada tanah yang berdrainase baik untuk pengembangan tanaman pangan lahan kering.
5.  Zona V adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dengan jenis tanah gambut dengan tipe pemanfaatan lahan adalah adalah tanaman hortikultura (gambut dangkal dengan ketebalan  1,5 m) atau kehutanan (gambut dalam dengan ketebalan > 1,5 m).
6.  Zona VI adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dengan jenis tanah yang mempunyai  kandungan sulfat masam atau kandungan garam yang tinggi dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk sistem perikanan (tambak  payau, budidaya udang, kepiting, bakau, dan lain-lain).
7.  Zona VII adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dan jenis tanah yang berkembang dari pasir kuarsa dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk kehutanan (hutan produksi, hutan tanaman industri).
8.  Zona VIII adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dan tanah dangkal  rumput dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk  sistem peternakan.

2.2     Sistem Wanatani
Wanatani adalah suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal dalam satu tapak (site) yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang (merupakan kombinasi kegiatan kehutanan dengan kegiatan pertanian) berdasarkan kelestarian baik secara serempak ataupun beruntun di dalam dan di luar kawasan hutan untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem wanatani terjadi interaksi ekologi antara pohon dan komponen lainnya di atas permukaan lahan (above ground) maupun di bawah permukaan (below ground).
Adapun bentuk-bentuk wanatani menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu seagai berikut.
1.      Sistem Agroforestri Sederhana
Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian yang merupakan perpaduan satu jenis tanaman tahunan (pepohonan) yang ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan dapat ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan secara acak dalam petak lahan atau dengan pola lain, misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong atau pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam serta dapat menanam pepohonan yang bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, belinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, palawija, kacang-kacangan, ubi kayu, sayur-mayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya seperti pisang, kopi, coklat. Sebagai contoh, budidaya pagar (alley cropping) lamtoro dengan padi atau jagung, pohon kelapa ditanam pada pematang mengelilingi sawah.
Sistem agroforestri sederhana dalam perkembangannya juga merupakan campuran dari beberapa jenis pepohonan tanpa adanya tanaman semusim. Sebagai contoh, kebun kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap (Erythrina) atau kelorwono disebut juga gamal (Gliricidia) sebagai tanaman naungan dan penyubur tanah. Contoh tumpangsari lain yang umum dijumpai di daerah Ngantang, Malang yaitu menanam kopi pada hutan pinus. Tumpangsari merupakan bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak ditemukan di Pulau Jawa. Bentuk agroforestri sederhana dapat dijumpai pada sistem pertanian tradisional pada daerah dengan kepadatan penduduk yang rendah maupun di daerah yang berpenduduk padat. Pada daerah dengan kepadatan penduduknya rendah, bentuk agroforestri sederhana timbul sebagai salah satu upaya petani dalam mengintensifkan penggunaan lahan karena adanya kendala alam misalnya tanah rawa. Sebagai contoh, kelapa ditanam secara tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di pantai Sumatera. Contoh bentuk agroforestri sederhana pada daerah yang berpenduduk padat diantaranya: pohon-pohon randu ditanam pada pematang-pematang sawah di daerah Pandaan (Pasuruan, Jawa Timur), kelapa atau siwalan dengan tembakau di Sumenep, Madura. agroforestri
2.      Sistem Agroforestri Kompleks
Sistem agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini yaitu kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest. Sistem agroforestri kompleks dibedakan menjadi dua berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal yaitu kebun atau pekarangan dan agroforest. Sebagai contoh, hutan damar di daerah Krui, Lampung Barat atau hutan karet di Jambi.
Pekarangan atau kebun biasanya terletak di sekitar tempat tinggal dan luasnya hanya sekitar 0,1-0,3 ha sehingga sistem ini lebih mudah dibedakan dengan hutan. Sebagai contoh yaitu kebun talun, karang kitri dsb. Pekarangan atau kebun merupakan sistem bercocok-tanam berbasis pohon yang paling terkenal di Indonesia selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai di Jawa Barat adalah sistem pekarangan yang diawali dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman semusim selama beberapa tahun (fase kebun). Pada fase kedua, pohon buah-buahan (durian, rambutan, pepaya, pisang) ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim (fase kebun campuran). Pada fase ketiga, beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola kombinasi tanaman asli setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan pohon buah-buahan (fase talun). Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya amat terbatas karena banyaknya naungan. Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase talun. Dengan demikian pembentukan talun memiliki tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun.
Agroforest merupakan hutan masif yang merupakan mosaic (gabungan) dari beberapa kebun berukuran 1-2 ha milik perorangan atau berkelompok, letaknya jauh dari tempat tinggal bahkan terletak pada perbatasan desa, dan biasanya tidak dikelola secara intensif. Contoh agroforest karet, agroforest dammar dan lain-lain. Agroforest biasanya dibentuk pada lahan bekas hutan alam atau semak belukar yang diawali dengan penebangan dan pembakaran semua tumbuhan. Pembukaan lahan biasanya dilakukan pada musim kemarau. Lahan ditanami padi gogo pada awal musim penghujan yang disisipi tanaman semusim lainnya seperti jagung dan cabe untuk satu sampai dua kali panen. Setelah dua kali panen tanaman semusim, intensifikasi penggunaan lahan ditingkatkan dengan menanam pepohonan misalnya karet, damar atau tanaman keras lainnya. Periode awal ini, terdapat perpaduan sementara antara tanaman semusim dengan pepohonan.



BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.      Zona agroekologi merupakan suatu himpunan dari sejumlah faktor alam (iklim, topografi dan tanah) dan kegiatan pertanian (usahatani dan kelompok masyarakat tani) yang me­manfaatkan lingkungannya. Zona III adalah sutau wilayah dengan lereng 8 – 15 % dengan tipe ini pemanfaatan lahan yang cocok adalah dengan wanatani (agro- forestry).
2.      Wanatani suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal dalam satu tapak (site) yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang (merupakan kombinasi kegiatan kehutanan dengan kegiatan pertanian) berdasarkan kelestarian baik secara serempak ataupun beruntun didalam dan diluar kawasan hutan untuk kesejahteraan masyarakat.

3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan dapat kami sarankan sebagai berikut.
1.      Kepada mahasiswa agar lebih mampu memahami peran zone-zone agroekologi dan kemiringan lereng untuk menetukan komoditas tanaman yang tepat dan menguntungkan dalam pertanian ramah lingkungan.
2.      Kepada petani agar lebih memperhatikan peranan zone-zone agroekologi  sebelum membudidayakan tanaman dan dalam pemilihan komoditas tanaman yang tepat.


DAFTAR PUSTAKA

Saputra, Dwi. 2010. “Analisis Kemampuan Lahan Dengan Menggunakan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografi Di Das Grindulu Pacitan Propinsi Jawa Timur”. Tersedia pada: https://core.ac.uk/download/files/478/12351733.pdf. Diakses 14 Maret 2016.

Devi, Dwi. 2015. “Analisis Peta Zona Agroekologi Fix”. Tersedia pada: http://documents.mx/documents/analisis-peta-zona-agroekologi-fix.html. Diakses 14 Maret 2016.

Anonim. 2011. “Agroforestry”.Tersedia pada: http://kjf-distanhutbun.blogspot.co.id/2011/10/agroforestry.html. Diakses 14 Maret 2016.

Anonim. 2011. “Jenis-Jenis Agroforestry”. Tersedia pada: http://ilmuhutan.com/jenis-jenis-agroforestri/. Diakses 14 Maret 2016.


1 komentar: