BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana
keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak akan berbeda dengan nyata
(Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1999). Komponen utama agroekologi
adalah iklim, fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah.
Faktor utama iklim yang berkaitan erat dengan keragaman tanaman yaitu suhu
dan kelengasan. Kelengasan, meski banyak dipengaruhi oleh sebaran curah hujan
namun lebih ditekankan pada keadaan tanah. Daerah yang banyak mendapat air dari
lingkungan sekitaranya akan selalu basah walaupun curah hujannya sangat
sedikit. Kelengasan tanah dibagi menjadi empat, yaitu basah, lembab, agak
kering dan kering berdasar seberapa lama tanah mengalami kekeringan hingga
kedalaman tertentu dalam setahun.Selain itu, usaha pertanian juga sangat
ditentukan oleh bentuk wilayah (bentuk lereng) dan jenis tanah. Sifat tanah
yang sangat menentukan dalam usaha pertanian adalah selang kemasaman, selang
tekstur dan drainase.
Sistem pertanian berkelanjutan hanya akan terwujud apabila lahan digunakan
untuk sistem pertanian yang tepat. Dengan mempertimbangkan keadaan agroekologi,
bagaimana pilihan tanaman yang tepat serta bagaimana sistem produksi yang baik,
dapat ditentukan. Penggunaan lahan yang tepat bukan hanya menjamin lahan dan
alam memberi manfaat untuk masa kini, tapi juga menjamin bahwa sumber daya alam
dapat terus bermanfaat bagi generasi selanjutnya di masa mendatang.
Lahan sebagai sumber daya alam dalam pengelolaannya perlu tindakan yang
bijaksana agar memberikan hasil yang baik bagi manusia dan terjaga
kelestariannya. Dalam pemanfaatan lahan pertanian terkadang banyak timbul
masalah terkait dengan keseimbangan alam dan kesesuaian lahan, oleh karena itu
diperlukan teknologi yang tepat guna untuk mengoptimalkan penggunaan lahan
secara berkelanjutan.
Peta ZAE merupakan salah satu perangkat yang dapat mengarahkan perencanaan
pertanian yang bersifat operasional, karena peta ZAE mengandung informasi yang
menyeluruh mengenai potensi biofisik wilayah. Oleh karenanya peta ZAE dapat
memberikan arahan bagi pilihan komoditas, alternatif penggunaan lahan dan
bentuk rakitan teknologi, yang dapat disusun berdasarkan kombinasi pendekatan
fisik dan pendekatan ekonomi setempat (Busyra dan Salwati, 2008).
Peranan zona agroekologi dan kemiringan lahan sangat berpengaruh dalam
menentukan komoditas tanaman. Salah satu contoh adalah pada kemiringan lereng
(>8-16%). Oleh karena itu perlu diketahui peranan zona agroekologi dan
kemiringan lereng (>8-16%) untuk menentukan komoditas tanama yang tepat dan
menguntungkan dalam pertanian ramah lingkungan.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang adapun rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah
peranan zona agroekologi dan kemiringan lereng (>8-16%) untuk menetukan
komoditas tanaman yang tepat dan menguntungkan dalam pertanian ramah
lingkungan?
2. Apakah
yang dimaksud dengan wanatani?
1.3
Tujuan
Berdasarkan
permasalahan di atas adapun tujuannya adalah sebagai
berikut.
1. Untuk
mengetahui dan memahami peranan zona agroekologi dan kemiringan lereng
(>8-16%) untuk menetukan komoditas tanaman yang tepat dan menguntungkan
dalam pertanian ramah lingkungan.
2. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan wanatani.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Peranan Zona Agroekologi dan Kemiringan
Lereng (>8-16%)
Zona
agroekologi merupakan suatu himpunan dari sejumlah faktor alam (iklim,
topografi dan tanah) dan kegiatan pertanian (usahatani dan kelompok masyarakat
tani) yang memanfaatkan lingkungannya. Pengelompokan wilayah ini mempunyai
kondisi biofisik dan tanaman serta hewan yang relatif lebih seragam. Setiap
wilayah dapat digolongkan dalam zone egroekologi tertentu berdasarkan
kemiripan faktor-fakor alam dan kegiatan pertanian yang dilakukan pada wilayah
tersebut. Sehingga petani yang ada dalam
suatu zone agroekologi tertentu memiliki kesamaan baik dalam permasalahan dan
kebutuhan akan teknologi, dimana permasalahan dan kebutuhan akan teknologi
tersebut berbeda dengan petani yang tinggal pada zone agroekologi lainnya
(Rhoades, 1987).
Pada prinsipnya pengelompokan agroekologi mengacu
pada kondisi biofisik lahan (karakteristik lahan dan iklim) yang mempunyai
kesamaan dan secara sistematis pengelompokan tersebut dilakukan berdasarkan
perbedaan beberapa parameter biofisik yang berkaitan dengan lingkungan yaitu
relief (lereng), iklim (suhu dan kelembaban udara) serta kelas drainase tanah
(Sudaryanto et al., 2002).
Menurut Amien et al. (1994) pemilahan wilayah ke dalam zona-zona agroekologi akan
banyak
membantu ke daerah mana suatu paket teknologi yang telah dirakit untuk kondisi
fisik lingkungan tertentu dapat dialihkan, sehingga waktu, biaya dan tenaga
dalam pelaksanaan penelitian dapat digunakan dengan lebih berdaya guna dan
berhasil guna. Alternatif penggunaan lahan untuk masing-masing zona diberikan dengan
mempertimbangkan kelestarian lingkungan dalam menunjang tujuan untuk mencapai
sistem pertanian yang berkelanjutan. Sistem pertaniannya dapat berupa kehutanan, perkebunan tanaman tahunan, wana
tani dan tanaman semusim. Kehutanan meliputi hutan lindung, hutan produksi
maupun hutan penyangga di pantai dengan tanaman bakau dan nipah, aliran sungai
dan sekeliling mata air. Sistem pertanian lahan semusim dapat berupa pertanian
lahan basah pada tanah-tanah dengan drainase buruk dimana air selalu berlebihan
dan pertanian lahan kering. Apabila secara ekonomis lebih menguntungkan lahan
yang relatif datar dapat juga diusahakan untuk tanaman keras seperti tanaman
hortikultura (Amien, 1994).
Parameter utama dalam zona agroekologi adalah lereng dan dikelompokkan menjadi 4 (empat
zona utama yaitu : zoana I ( lereng > 40 %), zona II (lereng 16 – 40 %),
zona III (lereng 8 – 15 %) dan zona IV (lereng < 8 %). Pada daerah dengan
lereng < 3 % dengan jenis tanah gambut atau jenis tanah dengan kandungan
garam atau sulfat yang tinggi atau jenis tanah yang berkembang dari pasir
kwarsa dikelompokkan ke dalam zona tersendiri yaitu masing-masing zona V,
VI, VII dan VIII (Sudaryanto, et al 2002).
Berdasarkan kriteria zona utama tersebut suatu
wilayah dapat dibagi menjadi 8 zona agroekologi dengan spesifikasi sistem pertanian atau kehutanan sebagai
berikut :
1. Zona
I adalah suatu wilayah dengan lereng > 40 % dengan tipe pemanfaatan lahan
adalah untuk kehutanan.
2. Zona
II adalah suatu wilayah dengan lereng 16
– 40 % dengan dengan tipe pemanfaatan lahan adalah perkebunan (budidaya tanaman
tahunan).
3. Zona III adalah sutau wilayah dengan lereng
8 – 15 % dengan tipe pemanfaatan lahan adalah wana tani (agro- forestry).
4. Zona
IV adalah suatu wilayah dengan lereng 0 – 8 % dengan tipe pemanfaatan lahan
adalah untuk tanaman pangan yaitu pada tanah yang berdrainase tanah buruk untuk
pengembangan padi sawah dan pada tanah yang berdrainase baik untuk pengembangan
tanaman pangan lahan kering.
5. Zona
V adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dengan jenis tanah gambut dengan
tipe pemanfaatan lahan adalah adalah tanaman hortikultura (gambut dangkal
dengan ketebalan 1,5 m) atau
kehutanan (gambut dalam dengan ketebalan > 1,5 m).
6. Zona
VI adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dengan jenis tanah yang
mempunyai kandungan sulfat masam atau
kandungan garam yang tinggi dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk sistem
perikanan (tambak payau, budidaya udang,
kepiting, bakau, dan lain-lain).
7. Zona
VII adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dan jenis tanah yang berkembang
dari pasir kuarsa dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk kehutanan (hutan
produksi, hutan tanaman industri).
8. Zona
VIII adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dan tanah dangkal rumput dengan tipe pemanfaatan lahan adalah
untuk sistem peternakan.
2.2
Sistem Wanatani
Wanatani
adalah suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal dalam satu tapak (site)
yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang
(merupakan kombinasi kegiatan kehutanan dengan kegiatan pertanian) berdasarkan
kelestarian baik secara serempak ataupun beruntun di dalam dan di luar kawasan
hutan untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem wanatani terjadi interaksi ekologi antara pohon
dan komponen lainnya di atas permukaan lahan (above ground) maupun di
bawah permukaan (below ground).
Adapun bentuk-bentuk wanatani menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestri
dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu seagai
berikut.
1.
Sistem
Agroforestri Sederhana
Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem
pertanian yang merupakan perpaduan satu jenis tanaman tahunan (pepohonan) yang
ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim.
Pepohonan dapat ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan
secara acak dalam petak lahan atau dengan pola lain, misalnya berbaris dalam
larikan sehingga membentuk lorong atau pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam
juga sangat beragam serta dapat menanam pepohonan yang bernilai ekonomi tinggi
seperti kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, belinjo, petai,
jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan
kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu
padi (gogo), jagung, kedelai, palawija, kacang-kacangan, ubi kayu, sayur-mayur
dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya seperti pisang, kopi, coklat.
Sebagai contoh, budidaya pagar (alley cropping) lamtoro dengan padi atau
jagung, pohon kelapa ditanam pada pematang mengelilingi sawah.
Sistem agroforestri sederhana dalam perkembangannya
juga merupakan campuran dari beberapa jenis pepohonan tanpa adanya tanaman
semusim. Sebagai contoh, kebun kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap (Erythrina) atau kelorwono disebut juga
gamal (Gliricidia) sebagai tanaman
naungan dan penyubur tanah. Contoh tumpangsari lain yang umum dijumpai di
daerah Ngantang, Malang yaitu menanam kopi pada hutan pinus. Tumpangsari
merupakan bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak ditemukan di Pulau
Jawa. Bentuk agroforestri sederhana dapat dijumpai pada sistem pertanian
tradisional pada daerah dengan kepadatan penduduk yang rendah maupun di daerah
yang berpenduduk padat. Pada daerah dengan kepadatan penduduknya rendah, bentuk
agroforestri sederhana timbul sebagai salah satu upaya petani dalam
mengintensifkan penggunaan lahan karena adanya kendala alam misalnya tanah
rawa. Sebagai contoh, kelapa ditanam secara tumpangsari dengan padi sawah di
tanah rawa di pantai Sumatera. Contoh bentuk agroforestri sederhana pada daerah
yang berpenduduk padat diantaranya: pohon-pohon randu ditanam pada
pematang-pematang sawah di daerah Pandaan (Pasuruan, Jawa Timur), kelapa atau
siwalan dengan tembakau di Sumenep, Madura. agroforestri
2.
Sistem
Agroforestri Kompleks
Sistem agroforestri kompleks adalah suatu sistem
pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik
sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan
dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan.
Sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman
memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri
utama dari sistem agroforestri kompleks ini yaitu kenampakan fisik dan dinamika
di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun
hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai
agroforest. Sistem agroforestri kompleks dibedakan menjadi dua berdasarkan
jaraknya terhadap tempat tinggal yaitu kebun atau pekarangan
dan agroforest. Sebagai contoh, hutan damar di daerah Krui, Lampung
Barat atau hutan karet di Jambi.
Pekarangan atau kebun biasanya terletak di sekitar
tempat tinggal dan luasnya hanya sekitar 0,1-0,3 ha sehingga sistem ini lebih
mudah dibedakan dengan hutan. Sebagai contoh yaitu kebun talun, karang kitri
dsb. Pekarangan atau kebun merupakan sistem bercocok-tanam berbasis pohon yang
paling terkenal di Indonesia selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai di
Jawa Barat adalah sistem pekarangan yang diawali dengan penebangan dan
pembakaran hutan atau semak belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman
semusim selama beberapa tahun (fase kebun). Pada fase kedua, pohon buah-buahan
(durian, rambutan, pepaya, pisang) ditanam secara tumpangsari dengan tanaman
semusim (fase kebun campuran). Pada fase ketiga, beberapa tanaman asal hutan
yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola kombinasi tanaman asli
setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan pohon
buah-buahan (fase talun). Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya
amat terbatas karena banyaknya naungan. Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini
sering disebut dengan fase talun. Dengan demikian pembentukan talun memiliki
tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun.
Agroforest
merupakan hutan masif yang merupakan mosaic (gabungan) dari beberapa kebun
berukuran 1-2 ha milik perorangan atau berkelompok, letaknya jauh dari tempat
tinggal bahkan terletak pada perbatasan desa, dan biasanya tidak dikelola
secara intensif. Contoh agroforest karet, agroforest dammar dan lain-lain. Agroforest biasanya dibentuk pada lahan bekas hutan
alam atau semak belukar yang diawali dengan penebangan dan pembakaran semua
tumbuhan. Pembukaan lahan biasanya dilakukan pada musim kemarau. Lahan ditanami
padi gogo pada awal musim penghujan yang disisipi tanaman semusim lainnya
seperti jagung dan cabe untuk satu sampai dua kali panen. Setelah dua kali
panen tanaman semusim, intensifikasi penggunaan lahan ditingkatkan dengan
menanam pepohonan misalnya karet, damar atau tanaman keras lainnya. Periode
awal ini, terdapat perpaduan sementara antara tanaman semusim dengan pepohonan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Zona
agroekologi merupakan suatu himpunan dari sejumlah faktor alam (iklim,
topografi dan tanah) dan kegiatan pertanian (usahatani dan kelompok masyarakat
tani) yang memanfaatkan lingkungannya. Zona III adalah sutau wilayah dengan
lereng 8 – 15 % dengan tipe ini pemanfaatan lahan yang cocok adalah dengan wanatani
(agro- forestry).
2. Wanatani
suatu bentuk
pemanfaatan lahan secara optimal dalam satu tapak (site) yang mengusahakan
produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang (merupakan kombinasi
kegiatan kehutanan dengan kegiatan pertanian) berdasarkan kelestarian baik secara
serempak ataupun beruntun didalam dan diluar kawasan hutan untuk kesejahteraan
masyarakat.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan dapat kami sarankan sebagai berikut.
1. Kepada mahasiswa agar lebih mampu memahami
peran zone-zone agroekologi dan kemiringan lereng untuk
menetukan komoditas tanaman yang tepat dan menguntungkan dalam pertanian ramah
lingkungan.
2. Kepada
petani agar lebih memperhatikan peranan zone-zone agroekologi sebelum membudidayakan tanaman dan dalam
pemilihan komoditas tanaman yang tepat.
DAFTAR
PUSTAKA
Saputra,
Dwi. 2010. “Analisis
Kemampuan Lahan Dengan Menggunakan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi
Geografi Di Das Grindulu Pacitan Propinsi Jawa Timur”. Tersedia pada: https://core.ac.uk/download/files/478/12351733.pdf. Diakses 14
Maret 2016.
Devi, Dwi.
2015. “Analisis Peta Zona Agroekologi Fix”. Tersedia pada: http://documents.mx/documents/analisis-peta-zona-agroekologi-fix.html. Diakses 14
Maret 2016.
Anonim. 2011.
“Agroforestry”.Tersedia
pada: http://kjf-distanhutbun.blogspot.co.id/2011/10/agroforestry.html. Diakses 14
Maret 2016.
Anonim. 2011. “Jenis-Jenis
Agroforestry”. Tersedia
pada: http://ilmuhutan.com/jenis-jenis-agroforestri/. Diakses 14
Maret 2016.
mantap jiwa
BalasHapus