Rabu, 18 Januari 2017

Keberdayaan Masyarakat Pedesaan Dalam Pelestarian Subak Di Bali

RESUME
KEBERDAYAAN MASYARAKAT PEDESAAN DALAM PELESTARIAN SUBAK DI BALI (Kasus Subak Giri Mertha Yoga, Desa Mengani, Bangli)

Subak adalah sebuah community dalam perilaku kehidupan masyarakat yang bersandar pada kaidah – kaidah kehidupan agraris pada jamannya (agricultural community – based way of life). Subak sebagai sistem sosial sesungguhnya sudah merupakan bagian integral kehidupan masyarakat Bali, terkait oleh norma-norma budaya dan agama yang tidak terpisahkan. Salah  satu subak yang ada di Bali adalah Subak Giri Mertha Yoga. Subak Giri Mertha Yoga terletak di Desa Mengani, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, dengan batas-batas wilayah Desa Batukaang (Utara), Desa Binyan (Timur), dan Desa Belok/Sidan, Kabupaten Badung (Barat dan Selatan). Desa Mengani adalah salah satu desa dari 48 desa yang ada di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, yang mempunyai luas wialayah 427 ha, dengan pemanfaatan tanah tersebut meliputi sawah 10 ha, pekarangan 0,695 ha, bangunan umum 0,5 ha, dan tegalan 425,8 ha. Tahun 1993 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang intinya mempetakan pembangunan memjadi tiga katagori, yakni desa maju, desa sedang berkembang, dan desa tertinggal. Desa Mengani sebagai desa relatif terisolasi termasuk desa tertinggal. Perhatian pemerintah waktu itu diwujudkan melalui penyaluran proyek fisik seperti perbaikan jalan dan perbaikan perumahan bagi penduduk miskin.
Disisi lain, predikat desa tertinggal memberika dampak kurang menguntungkan yaiutu munculnya sikap kurang percaya diri penduduk setempat, dan penduduk Desa Mengani sering merasa malu distampek penduduk dari desa tertinggal oleh masyarakat sekitarnya. Stigma negatif tersebut lambat laun memunculkan kesadaran masyarakat untuk melakuakn perubahan. Masyarakat merasakan lebih diringankan bebannya dalam menyelenggarakan pembanguanan fisik, namun perbaikan fasilitas fisik tidak akan memberi dampak positif dalam kesinambungan pembanguna di desa tersebut. Setelah melakukan rembug informal didapatkan hasil berupa ide untuk mencoba membangun aungan (terowongan) untuk memcoba menaikkan air, sehingga petani di Mengani bisa menanam di areal pertanian, baik di musim hujan maupun musim kemarau. Ide ini sebenarnya sudah pernah dicoba tahun 1970-an, namun gagal.
Ide membangun terowongan untuk mengalirkan air sungai ke wilayah Desa Mengani semakin berkembang. Puncaknya pada pertengahan 1993 ada pertemuan yang melibatkan 80 KK penduduk Mengani, yang berhasil memformulasikan langkah-langkah strategis agar ide terebut bisa direalisasikan. Pematangan rencana itu memerlukan waktu sekitar enam bulan. Di tengah perjalanannya muncul hambatan eksternal dan internal. Hambatan eksternalnya adalah pihaknya belum punya pengalaman melakukan hubungan dengan pihak birokasi untuk perizinan membangun terwongan ke kantor Pengkab Bangli, sehingga waktu diperlukan untuk mengurus izinnya yang relatif lama. Sementara itu hambatan internal adalah muncul isu tak menguntungkan dari sejumlah tokoh tua masyarakat, yang sebelumnya sudah gagal membangun irigasi. Mereka menghembuskan rumoh bahwa penguasa alam gaib tidak merestui dengan aktivitas bercocok tanam di lahan basah. Sampai-sampai muncul pernyataan sesumbar, bahwa tak mungkin dibangun jaringan irigasi. Untungnya dari 50 KK tersebut 17 orang yang memiliki keyakinan penuh bahwa rencana tersebut akan berhasil. Keteguhan hati dan kerja keras tokoh masyarakat itu mampu mengikat 50 anggota seka untuk tetap bertahan pada keyakianan bahwa di Desa Mengani pasti dapat dibangun jaringan irigasi, bahkan sebagian warga yang sempat mundur kembali bergabung sehingga anggota seka menjadi 64 orang.
Secara jujur Wayan Nanti mengakui bahwa biaya membangun terowongan sangat besar mengingat untuk membiayai satu bagian air, seorang petani harus menjual tiga ekor sapi yang beratnya rata-rata 400kg dan harganya sekitar Rp. 600.000,-. Rencana pembangunan terowongan pun disepakati untuk dilaksanakan, dan dimulailah penggalian terowongan tanggal 5 April 1994. Penggalian terowongan tersebut baru tembus menghubungkan Desa Mengani dengan sumber air pada 5 Mei 1995 atau memakan waktu 13 bulan. Melalui terowongan sepanjang 7005 meter tersebut dialirkan air dengan debit 22,5 m / 3 detik. Air irigasi yang dialirkan tersebut diambil dari tiga sungai kecil-kecil di kawasan Kintamani Barat yakni Sungai Pebini, Sungai Lunjagan, dan Sungai Tiing Seni. Adapun total dana swadaya yang dikeluarkan untuk membangun jaringan irigasi yang dikeluarkan 64 warga Desa Mangani Rp. 231.580.000,-. Keberhasilan mengalirkan air secara merata dan mencetak sawah memantapkan hati 64 orang anggota perkumpulan tersebut secara formal membentuk subak yang diberi nama Subak Giri Mertha Yoga.
Pembentukan Subak Giri Mertha Yoga secara nyata memberikan pengaruh positif bagi masyarakat sekitarnya. Sebelum berdirinya subak, masyarakat setempat tidak bisa menuangkan kreatifitas secara maksimal, baik dalam mengelola lahan pertanian ataupun melakukan diversifikasi usaha lainnya. Sebelum adanya air di Desa Mengani, kinerja petani sangat rendah. Banyak areal kopi robusta yang berubah fungsi menjadi areal sawah atau tanaman hortikultura, sehingga intensitas pemanfaatan lahan semakin baik. Distribusi pendapatan semakin merata, meningkat kesempatan meraih pendapatan tinggi dari sektor pertanian tidak saja petani erlahan luas akan tetapi juga mereka yang memiliki lahan sempit. Saat ini di Desa Mengani berkembang usaha tani yang sarat pemanfaatan teknologi pertanian moderen (benih, obat-obatan, pupuk serta budidaya).
Lazimnya organisasi sosial, Subak Giri Mertha Yoga dalam menuju kedewasaan atau pemantapan eksistensi juga muncul disharmonisasi didalamnya. Konflik muncul terutama karena sangat sulit menjaga pembagian air yang merata sepanjang tahun bagi seluruh anggota subak yang ada dibagian hulu sampai hilir. Setelah ditelusuri, kenyataan itu adalah akibat debit air dari sumbernya hulu mengecil, dan ditengah jalan di  terowongan disadap dengan pipa oleh oknum masyarakat luar desa (Desa Batukaang). Konflik dalam Subak Giri Mertha Yoga memang tidak sampai berdampak merusak kinerja subak, dan dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Anggota subak yang merasa rugi tidak mendapat pembagian air secara adil, memilih keluar dari keanggotaan subak dengan menjual kepemilikan air. Mencegah meluasnya konflik, pada rapat 12 September 2004 dibahas secara khusus dan ditemukan langkah memecahkan masalah. Pertama, untuk menghindari penyadapan air oleh masyarakat desa tetangga, maka calung (tempat pembuangan air dari badan terowongan) yang semula dipasangi pipa penyadap ditutup. Memperkuat kelembagaan Subak Giri Mertha Yoga, maka sejak 3 September 2003 telah diterbitkan awig-awig yang memuat landasan, menjaga subak didirikan serta apa saja kewajiban dan hak para anggota subak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar