RESUME
KEBERDAYAAN
MASYARAKAT PEDESAAN DALAM PELESTARIAN SUBAK DI BALI (Kasus Subak Giri Mertha
Yoga, Desa Mengani, Bangli)
Subak adalah sebuah community
dalam perilaku kehidupan masyarakat yang bersandar pada kaidah – kaidah
kehidupan agraris pada jamannya (agricultural
community – based way of life). Subak sebagai sistem sosial sesungguhnya
sudah merupakan bagian integral kehidupan masyarakat Bali, terkait oleh
norma-norma budaya dan agama yang tidak terpisahkan. Salah satu subak yang ada di Bali adalah Subak Giri
Mertha Yoga. Subak Giri Mertha Yoga terletak di Desa Mengani, Kecamatan
Kintamani, Kabupaten Bangli, dengan batas-batas wilayah Desa Batukaang (Utara),
Desa Binyan (Timur), dan Desa Belok/Sidan, Kabupaten Badung (Barat dan
Selatan). Desa Mengani adalah salah satu desa dari 48 desa yang ada di
Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, yang mempunyai luas wialayah 427 ha,
dengan pemanfaatan tanah tersebut meliputi sawah 10 ha, pekarangan 0,695 ha,
bangunan umum 0,5 ha, dan tegalan 425,8 ha. Tahun 1993 Pemerintah Indonesia
mengeluarkan Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang intinya mempetakan pembangunan
memjadi tiga katagori, yakni desa maju, desa sedang berkembang, dan desa
tertinggal. Desa Mengani sebagai desa relatif terisolasi termasuk desa
tertinggal. Perhatian pemerintah waktu itu diwujudkan melalui penyaluran proyek
fisik seperti perbaikan jalan dan perbaikan perumahan bagi penduduk miskin.
Disisi lain, predikat desa tertinggal memberika dampak
kurang menguntungkan yaiutu munculnya sikap kurang percaya diri penduduk
setempat, dan penduduk Desa Mengani sering merasa malu distampek penduduk dari
desa tertinggal oleh masyarakat sekitarnya. Stigma negatif tersebut lambat laun
memunculkan kesadaran masyarakat untuk melakuakn perubahan. Masyarakat
merasakan lebih diringankan bebannya dalam menyelenggarakan pembanguanan fisik,
namun perbaikan fasilitas fisik tidak akan memberi dampak positif dalam
kesinambungan pembanguna di desa tersebut. Setelah melakukan rembug informal
didapatkan hasil berupa ide untuk mencoba membangun aungan (terowongan) untuk
memcoba menaikkan air, sehingga petani di Mengani bisa menanam di areal
pertanian, baik di musim hujan maupun musim kemarau. Ide ini sebenarnya sudah
pernah dicoba tahun 1970-an, namun gagal.
Ide membangun terowongan untuk mengalirkan air sungai ke
wilayah Desa Mengani semakin berkembang. Puncaknya pada pertengahan 1993 ada
pertemuan yang melibatkan 80 KK penduduk Mengani, yang berhasil memformulasikan
langkah-langkah strategis agar ide terebut bisa direalisasikan. Pematangan
rencana itu memerlukan waktu sekitar enam bulan. Di tengah perjalanannya muncul
hambatan eksternal dan internal. Hambatan eksternalnya adalah pihaknya belum
punya pengalaman melakukan hubungan dengan pihak birokasi untuk perizinan
membangun terwongan ke kantor Pengkab Bangli, sehingga waktu diperlukan untuk
mengurus izinnya yang relatif lama. Sementara itu hambatan internal adalah
muncul isu tak menguntungkan dari sejumlah tokoh tua masyarakat, yang
sebelumnya sudah gagal membangun irigasi. Mereka menghembuskan rumoh bahwa
penguasa alam gaib tidak merestui dengan aktivitas bercocok tanam di lahan
basah. Sampai-sampai muncul pernyataan sesumbar, bahwa tak mungkin dibangun
jaringan irigasi. Untungnya dari 50 KK tersebut 17 orang yang memiliki
keyakinan penuh bahwa rencana tersebut akan berhasil. Keteguhan hati dan kerja
keras tokoh masyarakat itu mampu mengikat 50 anggota seka untuk tetap bertahan
pada keyakianan bahwa di Desa Mengani pasti dapat dibangun jaringan irigasi,
bahkan sebagian warga yang sempat mundur kembali bergabung sehingga anggota
seka menjadi 64 orang.
Secara jujur Wayan Nanti mengakui bahwa biaya membangun
terowongan sangat besar mengingat untuk membiayai satu bagian air, seorang
petani harus menjual tiga ekor sapi yang beratnya rata-rata 400kg dan harganya
sekitar Rp. 600.000,-. Rencana pembangunan terowongan pun disepakati untuk
dilaksanakan, dan dimulailah penggalian terowongan tanggal 5 April 1994.
Penggalian terowongan tersebut baru tembus menghubungkan Desa Mengani dengan
sumber air pada 5 Mei 1995 atau memakan waktu 13 bulan. Melalui terowongan
sepanjang 7005 meter tersebut dialirkan air dengan debit 22,5 m / 3 detik. Air
irigasi yang dialirkan tersebut diambil dari tiga sungai kecil-kecil di kawasan
Kintamani Barat yakni Sungai Pebini, Sungai Lunjagan, dan Sungai Tiing Seni.
Adapun total dana swadaya yang dikeluarkan untuk membangun jaringan irigasi
yang dikeluarkan 64 warga Desa Mangani Rp. 231.580.000,-. Keberhasilan
mengalirkan air secara merata dan mencetak sawah memantapkan hati 64 orang
anggota perkumpulan tersebut secara formal membentuk subak yang diberi nama
Subak Giri Mertha Yoga.
Pembentukan Subak Giri Mertha Yoga secara nyata
memberikan pengaruh positif bagi masyarakat sekitarnya. Sebelum berdirinya
subak, masyarakat setempat tidak bisa menuangkan kreatifitas secara maksimal,
baik dalam mengelola lahan pertanian ataupun melakukan diversifikasi usaha
lainnya. Sebelum adanya air di Desa Mengani, kinerja petani sangat rendah.
Banyak areal kopi robusta yang berubah fungsi menjadi areal sawah atau tanaman
hortikultura, sehingga intensitas pemanfaatan lahan semakin baik. Distribusi
pendapatan semakin merata, meningkat kesempatan meraih pendapatan tinggi dari
sektor pertanian tidak saja petani erlahan luas akan tetapi juga mereka yang
memiliki lahan sempit. Saat ini di Desa Mengani berkembang usaha tani yang
sarat pemanfaatan teknologi pertanian moderen (benih, obat-obatan, pupuk serta
budidaya).
Lazimnya organisasi sosial, Subak Giri Mertha Yoga dalam
menuju kedewasaan atau pemantapan eksistensi juga muncul disharmonisasi
didalamnya. Konflik muncul terutama karena sangat sulit menjaga pembagian air
yang merata sepanjang tahun bagi seluruh anggota subak yang ada dibagian hulu
sampai hilir. Setelah ditelusuri, kenyataan itu adalah akibat debit air dari
sumbernya hulu mengecil, dan ditengah jalan di
terowongan disadap dengan pipa oleh oknum masyarakat luar desa (Desa
Batukaang). Konflik dalam Subak Giri Mertha Yoga memang tidak sampai berdampak
merusak kinerja subak, dan dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Anggota
subak yang merasa rugi tidak mendapat pembagian air secara adil, memilih keluar
dari keanggotaan subak dengan menjual kepemilikan air. Mencegah meluasnya
konflik, pada rapat 12 September 2004 dibahas secara khusus dan ditemukan
langkah memecahkan masalah. Pertama, untuk menghindari penyadapan air oleh
masyarakat desa tetangga, maka calung
(tempat pembuangan air dari badan terowongan) yang semula dipasangi pipa
penyadap ditutup. Memperkuat kelembagaan Subak Giri Mertha Yoga, maka sejak 3
September 2003 telah diterbitkan awig-awig
yang memuat landasan, menjaga subak didirikan serta apa saja kewajiban dan hak
para anggota subak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar