Rabu, 18 Januari 2017

Hubungan Timbal Balik Subsistem Budaya dengan Subsistem Kebendaan dalam Subak

BAB I PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bali merupakan daerah tujuan wisata dunia, selain dari objek wisata berupa bentang alam yang memang indah, Bali menyuguhkan objek wisata budaya yang tidak dapat dijumpai di daerah tujuan wisata lain. Salah satu wisata alam yang menarik dikunjungi adalah persawahan terasering khas bali dan serta sistem irigasi pertanian yang baik yang dikenal sebagai Subak.
Dilihat dari sejarahnya, Subak telah terbentuk hampir satu millennium. Ini menunjukkan bahwa subak memang adalah suatu lembaga irigasi tradisional yang tangguh dan lestari keberadaannya. Ini dikarenakan subak memilki nilai-nilai luhur yang bersifat sangat universal yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Antara lain secara implisit mengandung pesan agar kita mengelola sumber daya alam termasuk smber daya air secara arif untuk menjaga kelestariannya, senatiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan mengedepankan keharmonisan hubungan antar manusia. Tidak hanya itu, subak juga memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang patut dilestarikan.
Para petani yang tergabung dalam organisasi subak telah memiliki keterampilan dan pengetahuan tradisional yang cukup memadai (kearifan lokal/indigenous knowledge) dalam membangun dan mengelola jaringan irigasi mereka. Karya besar nenek moyang kita berupa sistem irigasi subak beserta landskap sawah teras yang indah yang kita warisi sampai sekarang tentulah menggunakan teknologi tradisional yang mereka miliki. Tetapi sekarang ini subak Bali sedang mengalami dilema, dimana pariwisata bali memerlukan perluasan tempat dan wilayah guna melengkapi fasilitas-fasilitas kepariwisataan, dan mau tidak mau tanah dan lahan-lahan pertanian mengalami pengikisan akibat pengalihfungsian lahan. Selain itu semakin meningkatnya jumlah penduduk di Bali memberikan dampak negative terhadap sistem irigasi subak. Berdasarkan data hasil survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia Tahun 2010, yang menyatakan bahwa jumlah penduduk Bali sebesar 3,890,757 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk ini akan mengurangi jumlah areal persawahan, sehingga mengancam kelangsungan sitem irigasi subak. Maka dari itu penulis ingin membahas tentang subak dan nilai kearifan lokal yang terkandung didalamnya agar dapat lebih dikenal, dan meningkatkan kesadaran kita untuk tetap menjaga dan melestarikan keberadannya.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan subak?
2.      Bagaiman subak dalam kehidupan masyarakat bali?
3.      Apa hubungan timbal balik subsistem budaya dengan subsistem kebendaan?
4.      Apa kekuatan dan kelemahan sistem subak?
5.      Apa nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung pada sistem subak?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan subak.
2.      Untuk mngetahui subak dalam kehidupan masyarakat bali.
3.      Untuk memahami dan mengetahui hubungan timbal balik subsistem budaya dengan subsistem kebendaan.
4.      Untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan sistem subak.
5.      Untuk mengetahui nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung pada sistem.







BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Subak
Berdasarkan temuan dalam data prasasti, dapat disimpulkan bahwa pertanian dengan sistem perladangan dan sistem persawahan yang teratur telah ada di Bali pada tahun 882 M. Dalam prasasti Sukawana A1 tahun 882 M terdapat kata “HUMA”, berarti sawah dan kata “PERLAK” yang berarti tegalan. Dalam prasasti Raja Purana Klungkung yang berangka tahun saka 994 (1072 M), disebutkan kata Kasuwakara yang kemudian menjadi suwak atau subak. Keaslian sistem ini juga diperkuat dengan lontar Markandeya Purana sebagai dokumen historis yang menyebutkan”...sang mikukuhin sawah kawastanin subak, sang mikukuhin toya kawastaniu pekaseh, ika ne wenang ngepahin toya punika...” artinya, yang mengurus sawah seperti menggarp sawah dan sebagainya dinamakan subak, sedangkan yang diberikan tugas untuk mengurus dan menyelenggarakan pembagian air di sawah dan di ladang disebut pekaseh.
Berbicara mengenai pertanian di Bali, selalu akan diidentikkan dengan sistem subaknya yang merupakan cirri khas sistem pertanian di Bali. Seperti yang diungkapkan oleh  Piñata (1997) dalam Sunaryasa, 2002, subak di bali memiliki lima ciri yaitu:
1.  Subak merupakan organisasi petani pengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya. Sebagai suatu oraganisasi, subak memiliki pengurus dan pengaturan organisasi (awig-awig) yang tertulis maupun tidak tertulis.
2.  Subak memiliki sumber air bersama, berupa bendungan (ampelan) di sungai, mata air, ataupun saluran utama suatu sistem irigasi.
3.  Subak mempunyai suatu areal persawahan
4.  Subak mempunyai otonomi, baik internal maupun eksternal
5.  Subak mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul atau pura yang berhubungan dengan persubakan.
Ada banyak definisi tentang subak yang dikemukakan olah para pakar. Menurut Dilihat dari pengertiannya, definisi tentang subak adalah sebagai berikut:
1.      Pinnata (1997) dalam Sunaryasa (2002); mendefinisikan subak sebagai masyarakat hokum adat yang bersifat sosio agraris dan religious yang tediri dari petani-petani penggarap sawah pada suau areal persawahan yang mendapatkan air dari suatu sumber.
2.      Liefrink (1986) dalam Sunaryasa (2002); mendefinisikan subak sebagai suatu organisasi petani yang mengatur penyaluran air ke sawah-sawah untuk pertanian, sistem irigasi yang baik, juga sangat efektif digunakan untuk memungut tigasana atau pajak tanah/landrente.
3.      Sutawan (1986) dalam Sunaryasa (2002); mendefinisikan subak sebagai organisasi petani lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari auatu sumber bersama, memiliki satu atau lebih Pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri, manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kesuburan); serta mempunyai kebebasan didalam mengatur rumah tangganya sendiri maupun dalam berhubungan dengan pihak luar.
4.      Arif (1999), dalam Windia (2006) memberi perluasan pengertian terhadap karakteristik subak. Arif mendefinisikan subak sebagai suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-teknik-religius.
5.      Peraturan-daerah pemerintah-daerah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/1972 menyatakan Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi dilahan sawah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa subak merupakan organisasi atau lembaga tradisional yang bergerak dalam tata guna air untuk irigasi serta mengatur sistem pengelolaan pertanian bersifat social religious, mandiri yang anggotanya terdiri dari petani yang berdada dalam suatu kesatuan wilayah tertentu dan diatur dalam awig-awig.



2.2 Subak dalam Kehidupan Masyarakat Bali
Subak, merupakan sistem irigasi yang berbasis petani (farmer-based irrigation system) dan lembaga yang mandiri (self governmet irrigation institution). Keberadaan subak yang sudah hampir satu millenium sampai sekarang ini mengisyaratkan bahwa subak memang adalah sebuah lembaga irigasi tardisional yang tangguh dan lestari (sustainable) walaupun harus diakui bahwa eksistansinya kini mulai terancam. Ancaman terhadap kelestarian subak adalah  bersumber dari adanya perubahan-perubahan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Bali yang mengiringi derasnya arus globalisasi terutama pembangunan pariwisata Bali. Bebagai upaya perlu dilakukan untuk memperkuat dan melestarikan eksistensi subak sebagai warisan budaya yang sangat unik dan dikagumi oleh banyak pemerhati irigasi di mancanegara.Sebab,  jika subak yang dipandang sebagai salah satu pilar penopang kebudayaan Bali sampai sirna maka dikhawatirkan stabilitas sosial akan terganggu dan kelestarian kebudayaan Bali bisa terancam.
Meskipun subak adalah sistemi irigasi yang khas Bali, terutama karena upacara ritual keagamaan yang senantiasa menyertai setiap aktivitaasnya, namun ia memiliki nilai-nilai leluhur yang bersifat universal dan sangat relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Nilai-nilai tersebut adalah falsafah Tri Hita Karana( harmoni antara manusia dengan Sang Pencipta, harmoni antaramanusia dengan alam, dan harmoni antara manusia dengan manusia)  yang  melandasi setiap kegiatan subak. Tri Hita Karana secara implisit mengandung pesan agar kita mengelola sumberdaya air secara arif  untuk menjaga kelestariannya. Oleh karena itu, subak dapat didefinisikan sebagai lembaga irigasi yang bercorak sosio religius dan berlandaskan Tri Hita Karana dengan fungsi utamanya adalah pengelolaa air irigasi untuk memproduksi tanaman pangan khususnya padi dan palawija  Ketiga harmoni tadi menghasilkan kedisiplinan seluruh anggota Subak di tingkat provinsi dalam melestarikan sumber daya air di satu daerah aliran sungai.
Sistem Subak adalah contoh yang dalam pengelolaan sumber daya, distribusi, dan penggunaan air irigasi berwawasan kesejahteraan secara paripurna, yaitu kesejahteraan masyarakat dalam kawasan DAS. Maka dalam proses pengambilan keputusan seyogianya mempertimbangkan segi politis, ekonomi, sosial, dan budaya (religi). Multifungsi ekosistem untuk mencapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agricultural development) telah diimplementasikan dalam sistem Subak.

2.3 Hubungan Timbal Balik Subsistem Budaya dengan Subsistem Kebendaan
Hubungan timbal balik subsistem budaya dengan subsistem kebendaan yaitu, air dianggap sangat bernilai dan sangat dihormati, dan dianggap sebagai ciptaan Tuhan YME, air irigasi mengalir secara kontinyu melalui bangunan bagi, dan ikut “diawasi” oleh para Dewa yang bersemayam pada sistem pura yang ada di kawasan itu.
Adanya sistem pura dalam sistem subak sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan YME, yang juga dianggap sebagai suatu mekanisme kontrol terhadap sistem pengelolaan irigasi yang dilakukan oleh subak yang bersangkutan.
Adanya batas wilayah subak yang jelas dalam subsistem kebendaan, dimana lahan yang mungkin tersisa pada lokasi bangunan-bagi (tembuku) umumnya dibangun bangunan suci, yang berguna untuk menghindari konflik atas lahan tersebut. Ada juga bale timbang merupakan bangunan yang dibangun dengan dua tiang penyangga utamanya.
Subak pada umumnya memanfaatkan bahan lokal untuk kepentingan pembangunan jaringan irigasinya. Sistem subak juga menyediakan lahan khusus untuk bangunan suci pada lokasi yang dianggap penting. Selain itu adanya upacara tumpek landep untuk mengupacarai peralatan-peralatan di sawah. Setia kali membangun bangunan pada subak selalu diupacarai sesuai kebudayaan yang ada pada subak tersebut.

2.4 Kekuatan dan Kelemahan Sistem Subak
Sistem subak di Bali adalah merupakan satu warisan budaya Bali yang patut dibanggakan. Sebagai suatu sistem irigasi subak terbaik di dunia. Apa ukurannya? Pertama, subak mengelola sistem irigasinya berdasarkan pola-pikir harmoni dan kebersamaan yang berlandaskan pada aturan-aturan formal dan nilai-nilai agama. Kedua, bentuk organisasinya yang fleksibel (sesuai dengan kepentingan setempat). Ketiga, sistem artefaknya yang berdasarkan pada filosofi one inlet and outlet system.
Berdasarkan keunggulan-unggulan yang dimiliki sistem subak yang lengkap (seperti yang disebutkan di atas), subak sering disebut-sebut oleh para ahli irigasi sebagai suatu sistem irigasi masa depan.
Sebaliknya, dalam kaidah ilmu irigasi, pengelolaan sistem irigasi cenderung hanya berdasarkan pada konsep-konsep efisiensi berdasarkan aturan-aturan formal, dengan pola pikir ekonomik. Sementara itu, konsep-konsep efektivitas, nilai-nilai religi, dan pengelolaan sistem irigasi yang berlandaskan harmoni dan kebersamaan, cenderung terlupakan. Sistem subak dikelola berdasarkan pola pikir, sistem sosial, dan artefak yang jelas, sehingga sistem subak di Bali sering pula dikategorikan oleh para ahli (Clifford Geertz, Suparodjo Pusposutardjo, dan lain-lain) sebagai sistem teknologi yang telah berkembang menjadi kebudayaan masyarakat setempat. Atau suatu sistem teknologi yang memiliki fenomena budaya.
Apa yang disebutkan sebagai kelebihan dan kekurangan dari sistem subak di Bali, pada dasarnya merupakan kelebihan dan keunggulan yang dimiliki oleh sistem irigasi tradisional pada umumnya. Namun sistem irigasi tradisional seperti halnya sistem subak, bukanlah tanpa kelemahan-kelemahan. Kelemahan paling menonjol dari sistem irigasi tradisional (termasuk sistem subak) adalah ketidakmampuannya untuk membendung pengaruh luar yang menggerogoti artefaknya, yang terwujud dalam bentuk alih fungsi lahan, sehingga eksistensi subak menjadi terseok-seok.
Contoh paling klasik adalah eksistensi Subak Muwa di pusat kota Kecamatan Ubud, yang sering menjadi kasus penelitian para ahli irigasi dunia. Subak Muwa di Ubud adalah sebuah kasus di mana artefak lahan sawahnya dengan cepat menyempit dari 40 hektar menjadi empat hektar dalam waktu kurang dari 10 tahun. Hal ini mengakibatkan nilai-nilai Tri Hita Karana (THK) yang menjadi landasan subak yang diwujudkan dalam bentuk harmoni dan kebersamaan mengalami pergeseran bentuk. Kiranya dengan mudah dapat ditebak, bahwa apa yang terjadi pada Subak Muwa itu sangat dipengaruhi faktor ekonomi.

2.5 Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Terkandung pada Sistem Subak
Di dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal (local wisdom) dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Berikut nilai-nilai kerifan lokal yang terkandung dalam sistem subak:
1.      Bangunan penangkap air disungai (bendung/empelan) diletakkan pada kawasan tikungan sungai, sehingga dengan demikian bangunan sadap dari bendung tersebut dapat ditempatkan pada lokasi dengan kecepatan air paling tinggi, ada kekuatan sentrifugal dan dengan sedimen paling minimal.
2.      Bagian atas trowongan dibuat melengkung mengandalkan pada batuan asli dan tidak disemen. Pada beberapa tempat dibuat lubang untuk masuk terowongan untuk menjamin agar ada udara diatas air pada saluran sehingga terowongan tetap pada keadaan saluran terbuka.
3.      Tiap petani anggota subak memiliki bangunan pengambilan (water inlet) tersendiri dan juga saluran pembuang (outlet) sendiri. Hal ini akan mempermudah pinjam meminjam air antar anggota juga memudahkan proses pelaksanaan diversifikasi tanaman meskipun pada musim hujan sekalipun pada musim hujan.
4.      Bangunan bagi dibuat dengan sistem tradisional “numbak” dengan ambang rata-rata tanpa pintu, dibuat proporsional sesuai luas lahan yang dimiliki oleh petani, teknologi pengalokasian air ini menjamin transparansi, rasa keadilan dikalangan anggota, mudah dikelola, dan mudah dipantau sehingga dapat dikatakan sebagai teknologi tepat guna.
5.      Setiap petani atau anggota subak menata lahannya mengikuti kontur lahan yang secara umum di Bali memiliki kontur berbukit, sehingga munculah sistem terasering. Sistem terasering ini memiliki manfaat besar menjaga kelestarian lingkungan, hal ini disebabkan karena dengan sistem ini dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya erosi atau longsor, pencucian mineral tanah akibat air pada saat musim hujan, serta menjamin ketersediaan air yang merata kepada petani pada saat usim kemarau.
6.      Sistem subak mengatur pemanfaatan air yang tersedia di alam berperan penting  dalam menjaga keseimbangan dan keserasian antara manusia dan lingkungan, hal ini disebabkan karena subak dikembangkan berdasarkan konsep Tri Hita Karana. 
7.      Adanya pengaturan air kepada petani secara merata dalam sistem subak memberikan jaminan kepada masyarakat akan ketersediaan pangan. Hal ini dimungkinkan, karena adanya kemungkinan saling pinjam air antar sistem subak maupun saling pinjam air antar anggota subak.
8.      Adanya pengaturan pola dan jadwal tanam dilakukan dengan tegas dan ketat, bahkan terkadang dengan pemberian sanksi tertentu bagi yang melanggar. Pengaturan pola dan jadwal tanam dilakukan utuk merespon perubahan musim, dan ketersediaan air di alam.






BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
  1. Subak merupakan organisasi atau lembaga tradisional yang bergerak dalam tata guna air untuk irigasi serta mengatur sistem pengelolaan pertanian bersifat social religious.
  2. Penerapan sistem subak diserahkan sepenuhnya kepada anggota subak, pengurus subak, dan pimpinan subak yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, hal ini dumungkinkan karena pengelolaan subak bersifat fleksibel.
  3. Hubungan timbal balik subsistem budaya dengan subsistem kebendaan yaitu, air dianggap sangat bernilai dan sangat dihormati, dan dianggap sebagai ciptaan Tuhan YME.
  4. Kekuatan sistem subak: subak mengelola sistem irigasinya berdasarkan pola-pikir harmoni dan kebersamaan, bentuk organisasinya yang fleksibel, dan sistem artefaknya yang berdasarkan pada filosofi one inlet and outlet system.
  5. Nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada sistem subak terdapat pada artefak atau aspek benda dan pembuatannya. Seperti pada bendungan, trowongan, serta banguna bagi pada sistem tersebut.
3.2 Saran
Mengingat sangat pentingnya peranan subak dalam menjaga kelangsungan sistem pertanian di Bali dan nilai-nilai kearifan lokal yang dimilikinya, maka hendaknya kita harus berupaya untuk mempertahankan atau bahkan mengemangkannya di wilayah lain di Indonesia. Mengingat sistem subak memberikan kemudahan dan kepastian kepada petani dalam memperoleh pasikan air irigasi untuk pertanian yang berkelanjutan.



DAFTAR PUSTAKA

Pradana Bintang. 2013. “Pertanian Subak Bali”. Terdapat pada: http://blog.umy.ac.id/bintangpradana/halaman-contoh/pertanian-subak-bali/. Diakses tanggal 28 September 2015.
Windia Wayan. 2010. “Kajian Tata Ruang Dan Pengelolaan Kawasan Subak,
Untuk Bali Yang Lebih Baik”. Terdapat pada: http://balisustain.blogspot.co.id/2010/08/kajian-tata-ruang-dan-pengelolaan.html. Diakses tanggal 28 September 2015.

Annas. 2012. “Makalah Biologi Lingkungan (Subak)”. Terdapat pada: http://lenkabelajar.blogspot.co.id/2012/09/makalah-biologi-lingkungan-subak.html. Diakses tanggal 28 September 2015.
Gedetawan. 2012. “Peranan Subak Sebagai Sistem Irigasi Tradisonal Bali Dalam Pengelolaan Air Irigasi Dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Berdasarkan Atas Konsep Tri Hita Karana”. Terdapat pada: http://gedetawan.blogspot.co.id/2012/04/peranan-subak-sebagai-sistem-irigasi.html. Diakses tanggal 28 September 2015.
Kaesar. 2011. “Tempat Wisata di Tabanan Bali”. Terdapat pada: http://kaesarbali.blogspot.co.id/. Diakses tanggal 28 September 2015.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar